Hello and Goodbye
Hollaaaa, I'm
back! Udah lama gak nulis.
Hmmm...enaknya
ngapain ya? Buat cerpen kali ya.
Iseng deh
buat, daripada minggu malam nganggur (mblo, mblo-__-)
Kisah ini tidak terinspirasi dari siapa-siapa. Bukan cerita asli juga. Bukan hasil copas juga. Murni hasil karya penulis. Hanya karangan belaka kok.
Selamat membaca!
Hello and
Goodbye!
Ada
pertemuan, pasti ada perpisahan. Ada saatnya mengucapkan "halo", ada
juga saatnya mengucapkan "selamat tinggal". Ada rasanya bahagia, ada
juga rasa sedih. Semua itu ada.
Halo namaku
Syifa. Aku ingin menceritakan tentang kisah cintaku saat SMA. Kata orang,
masa-masa terindah saat sekolah adalah masa SMA. Awalnya aku sih tidak percaya,
bagaimana tidak? Tugas, kerja kelompok, ulangan, dan lain-lain terus
menghampiri. Tetapi, sejak aku kelas 2, aku mulai merasakan hal seindah ini.
***
"Syifa,
tugasmu mana?" kata guru matematika ku yang sedang mengecek tugas
anak-anak.
"Hmm...
saya lupa bawa, bu," kataku sambil menunduk.
Aku pun
terpaksa keluar kelas dan tidak mengikuti 1 jam pelajaran matematika.
"Dihukum
juga?" kata seseorang yang tiba-tiba duduk disebelahku.
"Iya.
Tugas gue tertinggal. Lo sendiri?" kataku heran.
"Gue
datang terlambat," lanjutnya.
Ia pun pergi
meninggalkan aku sendiri. Ya, ia teman sekelasku, namanya Adit. Aku tidak
terlalu dekat dengannya. Adit itu tipe cowok kutu buku, pendiam, dan hanya
berbicara dengan teman-teman dekatnya saja. Ah membosankan deh. Tapi sih katanya dia anak band, katanya...
"Kita
udah dibolehin masuk kelas!" katanya dingin.
Aku pun
masuk kelas dengan muka super kesal.
"Cause
you had a bad day!" tulisku di selembar kertas.
"Yang
tabah ya, Syif! Semoga jam selanjutnya lo bisa kembali ketawa," kata Mega
teman sebangku ku.
Selanjutnya
adalah pelajaran sosiologi. Ya, inilah pelajaran kesukaanku. Ya, pelajaran ini
sukses membuat aku tertawa kembali. Walau belajar serius, tetapi ada sesi
ketawa juga. Enjoy! You're my moodbooster! Thank you!
Bel
istirahat pun berbunyi. Perut sudah bernyanyi. Aku, Mega, Fuji, segera pergi ke
Kantin.
"Lihatin
gue kayaknya! Hahaha" kata Fuji bercanda.
"Bukan
tahu. Kalau gue perhatiin ya, dia lihatin Syifa tahu. Tuh kan dia curi-curi
pandang mulu! Kode tuh! Haha" Kata Mega.
"Apaan
sih lo pada. Udah ah males gue. Pindah tempat aja yuk!" kataku menghindar.
Sebenarnya,
aku masih menyimpan rasa dengan Dika. Ya, Dika adalah orang yang dulu pernah ku
suka, lebih tepatnya ia mantan pacarku. Entahlah mungkin sampai sekarang rasa itu masih ada. Walau kita sekarang
beda kelas, tetapi rasanya jarak tidak pengaruh. Buktinya aku tetap suka
kepadanya.
***
Bel pulang
berbunyi, inilah yang ku nantikan. Tetapi hari ini aku ada tambahan pelajaran
ekonomi. Tak apalah, tetap semangat!
"Gue
aja ya yang manggil guru!" kataku semangat.
"Yaudah,
coba saja cari di lantai atas." kata teman sekelasku.
"Hmm
tunggu, gue mau ikut lo dong," kata Adit menyambar.
"Gue
juga! Sekalian mau jalan-jalan, bosen nih!" kata Bagus.
Kami pun
berjalan bertiga. Tiba-tiba langkah kami terhenti.
"Hey
tunggu! Aku juga mau ikut!" teriak Rosa dari belakang.
"Waduh
rame sekali. Nah berhubung udah ada Rosa, mending kalian bertiga aja yang
manggil. Jangan banyak-banyak. Good bye! Hehehe" kataku senyum terpaksa.
Lumayan, kalau aku pergi, aku bisa bercanda dengan Fuji dan Mega.
"Nggak,
lo harus ikut!" kata Adit memegang erat tanganku.
"Iya,
lo juga mesti ikut!" kata Bagus yang mencegahku juga.
"Eh gue
ganggu ya? Gue pengen jalan-jalan soalnyaaaa" kata Rosa dengan penuh muka
harapan.
Kami pun
jalan berempat menuju ruang guru. Sudah keliling, tetap saja tidak bertemu.
Rupanya, guru tersebut sudah ada di kelas. Astaga, nyesek!
***
Keesokan
harinya.
"Dasi
lo benerin tuh!" kata Adit.
"Oh iya
maaf, makasih." kataku langsung masuk kelas.
Adit memang seseorang yang selalu memperhatikan penampilan. Tak heran ia selalu rapi dari awal masuk gerbang sampai keluar kembali.
Sekarang
ulangan telah selesai semua. Sekolah kami akan mengadakan pentas seni. Tiap
kelas ikut menyumbang pertunjukkan. Kelasku, menyumbang acara musikalisasi
puisi. Aku terpilih menjadi pemain alat musik pianika. Mega bagian bernyanyi, Fuji
bagian gitar, Rosa bagian suling, dan Wulan bagian membaca puisi.
Latihan hari
pertama, di rumah Mega.
"Hey,
Syif! Mau ke rumah Mega kan? Bareng aja yuk!" kata Adit yang menaiki
motornya.
"Nggak
deh, gue jalan aja. Makasih." kataku melanjutkan berjalan.
"Ih,
ayolah. Kan satu arah ini. Aku disuruh merekam latihan kalian." kata Adit
yang berusaha membujuk.
"Okedeh.
Makasih ya!" senyumku.
Sesampainya
di sana kami segera latihan berulang kali. Hingga sampai 10 kali, akhirnya
bisa.
"Ayo
Syifa! Semangat!" teriak Adit menyemangati.
Terkadang,
aku berharap sekali, yang menyemangatiku itu adalah Dika. Tapi, itukan tidak
mungkin kembali terjadi.
Istirahat
selama 30 menit.
"There
are times, when I just want to look at your face..." nyanyi Adit diiringi
sebuah gitar kesayangannya.
"Hey!
Sendirian aja." kataku datang menghampiri Adit yang hanya sendirian duduk
di bangku taman.
"Eh
elo! Hmm ngagetin aja nih! Duh jadi malu kan." katanya jadi salah tingkah.
"Haha
gapapa kali. Lanjut nyanyi dong! Suara lo bagus loh!" kataku memuji.
"Lagu
ini gue persembahin buat cewek yang lagi gue suka. Dia itu bener-bener
penyemangat gue."
"Loh
siapa? Cieee! Nyanyi sanaaa, gue rekam nih!" kataku semangat.
"There
are times when I just want to look at your face, with the stars in the night.
There are times when I just want to feel your embrace, in the cold night. I
just can't believe that you're mine now. Time and again
There are these changes that we cannot end As sure as the time keeps going on and on My
love for you will be forevermore..."
Prokprokprok, tepuk tanganku begitu meriah.
"Coba
aja ya, gue bisa main gitar." kataku pelan
"Bisa
kok. Ayo, gue ajarin!" katanya cepat.
"Eh
tapi gue bercanda. Serius nih?"
Aku pun
diajari kunci-kunci gitar. Entahlah, pikiranku justru malah tidak konsentrasi.
Salah tingkah? Aku rasa tidak.
Aku jadi
ingat Dika yang dulu pernah mengajariku bermain gitar juga. Tetapi, ia marah
karena aku kelamaan. Aku kira Adit juga bakal memarahi ku, tetapi aku salah. Ia
justru mengajariku dengan sabar.
"aww.."
kataku merintih.
Karena tidak
terbiasa memegang senar, aku jadi kesakitan. Perih ya ternyata.
"Lo gak
apa-apa? Duh pasti perih" sambil mengusap jariku.
Adit tampak
panik sekali. Ia segera mencoba menghilangkan rasa perih itu.
"Yaelah, Adit. Santai aja kali. Cuma perih biasa," kataku sedikit tertawa.
"Tapi
gue khawatir..." katanya.
"Gue
gak apa-apa. Udah ayo lanjut latihan!" kataku berusaha semangat.
***
Malam ini dingin sekali. Mengingat kejadian bermain gitar
tadi, aku jadi merindukan Dika. Andai aku tidak cemburuan, mungkin sekarang aku
masih bisa duduk disampingnya. Kini, kontak putus, saling sapa tidak pernah,
kita bagaikan dua orang yang tidak pernah kenal.
Bagaimana aku tidak cemburu? Kamu jauh lebih mementingkan
sms Mira, dibandingkan aku. Pacar kamu dia atau aku sih?
Aku pun melihat video hari jadian aku yang ke 4 bulan.
Sayang, bulan ini aku sudah tidak akan bersamanya lagi. Apalagi, mendengar
kabar, Dika sudah pacaran dengan Mira, cewek populer di sekolahku. Cocok deh,
Mira kapten cheers, dan Dika kapten basket.
Ketika cinta datang menyapa
Dia hadir membawa sejuta cerita
Merubah segalanya menjadi lebih indah
Namamu akan selalu terukir dihatiku
Sekarang semua berubah
Aku tenggelam dalam kesedihan
Tenggelam dalam luka dalam dan kepedihan
Terhanyut dalam gombalan dan janji manismu
Kamu yang memulai semua ini
Kamu juga yang mengakhiri cerita cinta ini
Dimana janji setiamu?
Hatimu tidak semanis ucapanmu
Kini aku sendiri
Membuat kisah baru tanpa dirimu
Aku memang sakit hati
Tetapi aku tidak hancur
Aku memang bersedih
Tetapi aku tidak akan lemah
Hanya karena cinta
Tertanda
Your
ex girlfriend
Aku tidak tahu berapa kali aku menangis karena mu. Aku
mencoba membenci, tapi tidak bisa. Aku mencoba melupakan, tapi aku tahu itu
tidak semudah membalikkan telapak tangan. I’m really miss you.
***
Latihan hari pertama di sekolah.
“Semangat ya, Syif!” bisik Adit pelan.
Aku hanya membalas dengan senyuman.
Latihan lancar. Walau tadi masih ada sedikit kesalahan.
Aku pun berdiri dibarisan belakang sendirian. Teman-temanku menyelak, aku jadi
paling belakang deh. Murid-murid dipersilahkan duduk.
Tiba-tiba Adit duduk disampingku.
“Hey! Gue temenin, ya!” sapanya ramah.
“Iya, makasih, ya! Lo ngapain pindah ke belakang deh?”
kataku heran.
“Hmm..gak apa-apa kok. Cuma lebih nyaman aja.” Katanya
sambil menggulung MP3 nya.
Aku pun hanya menikmati pertunjukkan kelas lain.
“Eh, pinjem pianika lo deh. Gue mau nunjukkin sesuatu
sama lo. Cuma nyanyian lagu wajib sih hehe. Tapi tetep lo yang tiup kok.” Kata Adit.
“Hah? Yaudah deh.” kataku.
Permainan alat musik pianika Adit bagus sekali. Kagum!
“Jam lo bagus, beli dimana?” kata Adit yang tiba-tiba
mengambil tanganku.
“Modus terus!” teriak Mega dari barisan depan.
Aku segera menjauh dari Adit.
“Nih, kalau mau lihat jam tangannya!” kataku melepas jam
tanganku dan memberinya ke Adit.
Adit tampak bingung.
Anak-anak disuruh berdiri kembali.
“Syifa, bangunin!” kata Fuji dengan nada manja. Aku pun
segera membantunya berdiri.
“Syifa...” Adit mengulurkan kedua tangannya. Aku segera
membantunya berdiri juga.
Kesal deh. Adit dari tadi menjahili aku terus. Kalau saja
aku bawa tali, aku ikat juga deh tangannya.
“Adit, diam deh!” kataku mulai kesal.
Adit tetap menjahili ku, malah meledek juga. Aku terpaksa
memegang kedua tangannya agar dia diam.
“Adit modusnya pinter banget ya ampun!” teriak Bagus dari
depan.
Aku segera melepaskannya dan menjauh. Aku pun berdiri
disamping Fuji. Seolah tidak kenal lelah, Adit kembali berdiri disampingku.
Tiba-tiba, Adit menaruh tangannya di bahuku.
“Ah sok kenal lo!” kataku nyolot dan menjauh.
“Emang kenal ye. Haha” katanya meledek.
“Kalian pacaran, ya?” sahut temanku, Lela, dari kelas
sebelah.
“Hah? Nggak kok!” kataku kaget.
Bahkan temanku mengira kami pacaran. Mungkin gara-gara tingkah laku kami yang... romantis? Tidak!
Bahkan temanku mengira kami pacaran. Mungkin gara-gara tingkah laku kami yang... romantis? Tidak!
Semua pertunjukkan telah selesai. Saatnya pulang!
Aku bermain-main dulu dengan kedua sahabatku, Mega dan
Fuji.
Setahuku, Adit suka dengan Mega. Waktu studi tour ke
Bandung, orang tua Adit tampak mendekatkannya dengan Mega. Kata Mega sih, itu
karena mereka teman kecil.
Membicarakan tentang love story tuh seperti tak ada
habisnya. Mega menyukai kakak kelas, sedangkan Fuji menyukai cowok berbeda
kelas. Aku? Aku masih saja menceritakan tentang Dika.
“Tapi ya, ga, menurut gue Adit suka sama lo.” Kataku
meledek.
“Iya tuh!” kata Fuji setuju.
“Buktinya pas studi tour. Hahaha. Orang tuanya aja sampai
setuju.” Lanjutku.
Mega tampak kesal.
Pembicaraan kita akhiri karena Mega dan Fuji hendak les.
***
“Syifa, lo tahu gak sih? Mega kesal banget sama lo. Tadi
dia tidak jadi les karena terlalu memikirkan omongan lo. Minta maaf, Syif!” sms
Fuji.
“Hah serius? Gitu doang kesal?” kataku heran.
Aku pun segera meminta maaf kepada Mega. Syukurlah Mega
langsung memaafkan aku.
Mungkin aku udah terlalu keterlaluan ceng-cengin Mega dan Adit. Tapi, menurutku itu biasa saja. Ah yasudahlah, intinya aku udah minta
maaf.
***
Latihan kedua, di gedung tempat pentas seni akan
dilaksanakan.
Aku duduk depan belakang dengan Adit. Adit tampak terus
menghadap belakang terus. Udah tahu lagi serius acaranya, aku jadi heran.
Kelas aku pun kembali dipanggil. Tak tampak Adit
menyemangatiku. Tumben.
Setelah maju, syukurlah latihan lancar kembali tanpa
salah. Aku dan teman-temanku kembali ke tempat duduk.
“Good job!” kata Adit menghadap belakang.
“Makasih.” Kataku singkat.
Adit tampak terus melihat ke arahku. Aku sendiri bingung.
Seperti tidak ada objek lain. Tetapi anehnya, ia tidak mengucapkan satu
katapun, malah seperti orang nervous. Ih aneh!
“Syifa, gue mau ngomong sesuatu.” Kata Adit yang akhirnya
bicara.
“Apa?” kataku sambil memakan roti yang dikasih panitia.
“Hmm..kalau seandainya gue nembak lo, lo terima gue gak?”
kata Adit tampak sedikit malu.
Febby tampak melihat ke arah kami berdua. Tetapi ia
segera kembali membaca novelnya.
“Lah? Hahahahaha lucu kamu. Bercanda mulu. Kocak ah!”
kataku tertawa ngakak sambil melanjutkan makan.
“Terima gak?” kata Adit sambil melihat mataku dengan
tampang serius.
“Ih lo, bercanda mulu. Males ah. Itu tuh perhatiin aja
kelas lain tampil.” Kataku masih sedikit ketawa tidak percaya.
“Haha iya ya, gue, gue emang parah ya. Gak lucu ya.” Katanya tertawa,
tetapi seperti tertawa terpaksa.
Aku tidak peduli, dan tidak mau peduli.
“Eh eh lihat tuh, Dika lihat ke arah lo, Syif!” bisik
Fuji pelan.
Aku mulai senang. Aku balik melihatnya. Tetapi Dika malah
membuang muka. Maunya apa sih!
***
Aku, Fuji, dan Mega kembali bermain bersama.
“Syif, gue mau ngomong sama lo.” Kata Mega.
“Apa?” kataku cuek.
“Ricky tuh kayaknya suka sama lo. Lo gak nyadar apa?”
kata Mega serius.
“Lo inget gak sih kejadian di kelas?” tanya Fuji yang
membela Mega.
“Lah apaan sih kalian berdua.” Kataku mengambil keripik
di tasku.
“Ih waktu di kelas. Dia duduk di samping lo. Terus lo gak
sengaja nyentuh tangan Ricky. Terus kita berdua langsung cie-ciein kalian.
Ricky langsung salting. Mukanya merah banget.” Kata Mega menceritakan.
“Iya, Syif! Terus kan Bianca langsung teriak ‘yah ketauan
deh kalau Ricky suka sama Syifa.’ Terus lo langsung pindah tempat duduk. Inget
gak sih?” lanjut Fuji.
“Iya, gue inget. Tetapi paling itu bercanda kali.” Kataku
sambil mengigit keripik singkong kesukaanku.
“Ih, orang Ricky sendiri yang bilang ke gue. Dia suka
sama lo! Cuma dia gak berani bilang.” Mega langsung menutup mulutnya.
“Pinterrr!! Mega bongkarin aja terus.” Kata Fuji kesal.
“Astaga, gue keceplosan. Yaudahlah, karena lo udah
telanjur tahu semuanya.”
Aku pun memutuskan mengganti topik.
***
Keesokan harinya, pentas seni.
Aku, Mega, Fuji, Dika, dan Rosa berdiri sebelahan.
“Mumpung suasananya pas, pensi gini, mending lo pada
menyatakan cinta.” Kataku memancing sahabatku.
“Aku mah sudah smsan dengan Rio.” Kata Fuji tersipu malu.
“Nggak ah, kan gue sukanya sama kakak kelas. Malu tahu.”
Kata Mega tertunduk.
Mega dan Fuji malah beranjak mencari makanan karena kelaparan.
“Yaudah deh, si Adit aja. Kan lo mau pindah sekolah tuh
semester ini. Gak ketemu lagi sama cewek yang lo suka. Tembak deh!” kataku
meledek.
“Yakin nih?” kata Adit heran.
“Iya lah. Terus entar kalo diterima sama cewek itu,
jangan lupa traktir gue! Jangan pelit-pelit lo. Haha” kataku terus meledek.
“Gue suka sama lo.” Kata Adit lancang.
“Hah?” kataku kaget. Aku terdiam tanpa kata.
“Iya, kan lo suruh gue nembak cewek yang gue suka. Nah
sekarang gue udah nembak. Gue suka sama lo, Syif!”
Adit langsung pergi meninggalkan aku. Entah salah tingkah
atau malu, aku tidak mengerti.
Sekarang giliran kelasku maju ke depan. Setelah alunan
musik dan puisi terdengar, dan beberapa menitpun selesai. Kami kembali ke
tempat istirahat.
Aku tidak lagi melihat Adit. Dia pergi kemana?
Kini aku berdiri diantara kerumunan penonton. Tiba-tiba
band sekolahku tampil. Aku berhenti sejenak ingin menonton.
Tiba-tiba terdengar suara sorakan penonton saat vokalis
berkata “lagu ini saya persembahkan untuk perempuan yang tadi saya tembak. I love
you!”
Ya, aku kenal suara itu. Tidak salah lagi, itu Adit. Aku
baru tahu dia ternyata vokalis band sekolah.
Dia mengalunkan gitarnya sambil menyanyikan lagu
forevermore. Lagu yang pernah ia nyanyikan waktu latihan musikalisasi puisi.
There are times when I just want to look
at your face
With the stars in the night
There are times when I just want to feel
your embrace
In a cold night
I
just can't believe that you are mine now
You were just a dream that I once knew
You were just a dream that I once knew
I never thought I would be right for you
I just can't compare you with anything
in this world
You're all I need to be with forevermore
All those years, I long to hold you in
my arms
I've
been dreaming of you
Every night, I've been watching all the
stars that fall down
Wishing you will be mine
I
just can't believe that you are mine now
You were just a dream that I once knew
I
never thought I would be right for you
I just can't compare you with anything
in this world
You're all I need to be with forevermore
Time and again
There are these changes that we cannot
end
As sure as the time keeps going on and
on
My love for you will be forevermore
Ohhh, yeah I just can't believe that you
are mine now
You were just a dream that I once knew
I
never thought I would be right for you
I
just can't compare you with anything in this world
As endless as forever
Our
love will stay together
You are all I need to be with
forevermore
Forevermore You are all I need to be with forevermore....
“Terima kasih semuanya! I love you!” sapa vokalis kepada
penonton.
Semua bersorak gembira.
Aku kembali ke backstage untuk beristirahat. Adit tampak mendekatiku.
“Gelang lo jatuh nih!” kata Adit.
“Makasih ya.” Kataku canggung.
“Gue yang pakein ya. Please, kali ini aja.” Katanya
memohon.
“Yaudah deh.” Kataku singkat.
Adit pun memasang gelang ditanganku.
“Jadi gimana, lo nerima gue apa nggak?” kata Adit yang
masih terus bertanya sambil makin mendekatiku.
“Hmm...nanti dulu ya. Gue belum bisa jawab. Maaf.” Kataku
pelan.
“Okedeh. Aku tunggu ya jawabannya.” Senyumnya padaku.
Aku pun memilih untuk pulang terlebih dahulu.
***
Satu minggu telah berlalu. Kelas kami mengadakan acara
jalan-jalan bersama ke Puncak.
Kami sampai disini malam hari. Itupun langsung acara api
unggun. Kami berkumpul.
“Duh, Fuji, gue lupa bawa jaket lagi. Dingin banget!”
kataku menggigil.
“Yah, maaf ya, Syifa. Sebenarnya gue mau aja sih ngasih,
tapi gue juga kedinginan.” Kata Fuji.
Tiba-tiba ada yang menempelkan jaket di tubuhku.
“Adit....” spontanku.
“Lah cie ingetnya Adit mulu.” Sahut Bagus.
“Ah lo!” kataku malu.
Bagus pun pergi meninggalkan Syifa. Syifa bingung dengan ketidakjelasan kedatangan Bagus. Syifa tampak
benar-benar kedinginan.
"Ohiya, itu jaket Adit! Jangan ditilep!" teriak Bagus.
"Ohiya, itu jaket Adit! Jangan ditilep!" teriak Bagus.
“Gue kangen lo, Dit.” Kataku menghela nafas.
“Gue ada di sini kok.” Suara Adit terdengar.
“Umm..Adit, eh tadi gue bercanda.” Kataku malu.
“Ah bohong. Kalau gitu, sini kembaliin jaket gue!” kata Adit meledek.
“Tapi gue dingin...” kataku melas.
“Kode nih? Hahaha. Iya, jaketnya buat lo aja. Laundry ya
abis itu.” kembali meledek.
“Iyadeh sip. Makasih ya!”
Kami berdiri menatap api unggun. Kami malah berfoto ria
berdua. Sedangkan yang lain makan-makan bersama di sekitar api unggun.
“Hahaha lucu ya foto kita.” Kata Dika.
“Iya, lo mah ekspresinya kocak hahaha,” kataku sambil
terus melihat foto-foto aku dan Adit di kamera Adit.
“Lihat tuh lo jelek banget disitu.” Kata Adit meledek.
“Ih. Lo juga jelek. Pake banget banget malah,” Balasku meledek.
“Ih lo mulai kan nyebelinnya. Haha” katanya bete.
“Nyebelin-nyebelin tapi gini-gini lo pernah nembak gue
kan. Ehem!” balasku meledek.
“Hahaha jadi malu nih. Ada-ada aja lo,” katanya
mengacak-acak rambutku.
Suasana tiba-tiba hening.
“Umm..Syifa, gue mau nagih jawaban lo. Jadi lo terima gue
apa nggak?” kata Adit sambil nyaris mau merangkul aku.
“Heh lo! Berani-beraninya deketin Syifa!” kata Dika dari
belakang.
“Dika? Kok kamu di sini?” kataku kaget.
“Loh bukannya kalian udah putus?” kata Adit heran.
“Adit benar, Ka. Kita udah tidak ada hubungan lagi. Gue
berhak sama siapa aja. Lo bukan siapa-siapa gue lagi. Inget, status kita,
mantan. Bye!” kataku mengajak Adit pergi.
Aku pun memilih pergi ke taman bermain. Aku duduk di
ayunan sendirian. Disaat seperti ini, aku lebih suka sendiri. Tempat ramai
tidak akan memecahkan masalahku.
“Syif, jangan nangis.” Kata Adit mendekatiku.
Aku tidak memperdulikan keberadaannya. Suasana kembali
hening, hanya ada suara isak tangisanku.
“Gue gak suka lihat cewek nangis, apalagi lo yang nangis.
Ayo hapus air mata lo.” Adit memberi saputangan nya.
“Males. Udah ah, aku mau sendiri. Aku masih kesal sama Dika. Gue tuh berasa digantungin tahu gak? Katanya udah punya pacar, tapi
buktinya dia masih bersikap cemburu gitu sama gue.” Kataku menahan kesal.
"Perlu gue yang hapus air mata lo?" kata Adit bercanda.
Suasana hening.
"Perlu gue yang hapus air mata lo?" kata Adit bercanda.
Suasana hening.
“Lo masih sayang ya sama dia?” tanya Adit singkat.
“Iya. Gue sayang sama dia.” Kataku sedih.
“Oh gitu ya. Itu berarti, lo nolak cinta gue ya?” kata Adit mendadak sedih.
“Hmm bukan gitu, tapi...” omonganku terputus.
Adit segera pergi meninggalkan gue.
“Adit, dengerin penjelasan gue dulu. Bukan maksud gue
gitu...” kataku mengejar Adit dan berhasil memegang tangannya.
“Semua udah jelas bukan? Kamu pantas kok bahagia dengan dia.” Senyumnya
kepadaku.
Aku bisa bedakan yang mana senyum asli dan mana senyum
terpaksa. Aku tahu senyummu itu hanya untuk menutupi kesedihan yang kamu
rasakan.
Tetapi apalah daya, aku tidak bisa lagi mencegat Adit
pergi. Itu bukan hak aku juga.
***
“Mega, masa Adit nembak gue. Gue karma ngatain lo sama
dia.” Ceritaku kepadanya.
“Hah serius? Hahahahaha sukurin, karma lo! Jahat sih jadi
orang!” balasnya.
“Ih tapi kali ini gue mau serius, kira-kira gue terima
gak ya?” kataku mencoba serius.
“Ikuti kata hati lo aja. Gak nyangka. Tipe cowok kutu
buku gitu bisa suka juga ya.” Katanya meledek.
Aku pun menceritakan semuanya kepada Mega dan Fuji.
Mereka malah menertawakan aku.
“Oh pantes, waktu setiap latihan, gue tuh merhatiin si Adit. Dia lihatin lo mulu. Ternyata eh ternyata...” lanjut Fuji.
“Hah lihatin gue?” kataku heran.
“Iya, jadi tuh dia merhatiin lo diem-diem gitu.” Lanjut
Fuji.
Tiba-tiba aku kaget karena Adit sudah ada di sebelahku.
Entah salah tingkah atau emang kaget.
“Hey, Syifa!” sahut Adit dari samping.
“Loh, lo gak marah?” kataku heran.
“Marah? Haha nggak kali. Santai aja!” katanya tegar.
“Maaf ya atas kejadian kemarin.” Kataku tertunduk merasa
bersalah.
“Ssstt udah, gue gak mau lagi mendengar masalah itu.”
balas Adit.
***
Hari sudah menjelang sore. Jalan-jalan sore merupakan
pilihan tepat. Aku, Fuji, Mega, Adit, Ricky, dan Bagus jalan bersama. Kami
seperti triple date ya! Ada 3 cowok, 3 cewek. Tetapi tidak ada yang jadian.
“Lo mau gak jadi ratu kerajaan?” tanya Adit kepadaku.
“Hmmm...mau gak ya. Mau deh! Tapi gak mungkin deh
kayaknya.” Balasku
“Udah kok. Kamu udah jadi ratu kerajaan dihati gue.”
Gombal Adit.
Seketika Mega, Fuji, Ricky, Bagus langsung batuk-batuk.
Ya, aku tahu itu batuk dibuat-buat.
“Kamu tuh bakat tahu jadi pelukis.” Kataku.
“Lah ngelukis aja gak bisa.” Jawabnya heran.
“Buktinya kamu udah ngelukis senyuman di wajah aku.”
balasku gombal.
Seketika Mega pindah posisi menjadi di belakangku.
Katanya sih, ia lagi ingin sendiri saja. Jadilah aku hanya mengobrol dengan
Fuji, Bagus, dan Ricky.
Kami pun duduk di bangku panjang taman. Aku duduk dengan Adit, tetapi jarak kami berjauhan. Sedangkan Fuji duduk dengan Bagus dan Ricky.
Tiba-tiba Dika mendekatkan duduknya ke arahku. Aku
menjauh.
“Syifa, lo mau gak jadi pacar gue?” spontan Adit berkata
begitu di depan tiga temannya.
Ricky tampak kaget dan tak percaya. Sedangkan Fuji dan
Bagus memang sudah mengetahuinya.
“TERIMAAAA!!!” teriak Fuji.
“Umm..itu cuma bercanda. Sudahlah ayo kita pergi.” Kataku
mengajak bubar.
Lagi dan lagi aku tidak menjawab pertanyaan Adit. Aku sendiri
bingung dengan perasaan ini. Di sisi lain aku masih suka Dika. Tetapi setiap Adit menghilang, aku pasti mencarinya. Aku suka, tetapi aku tidak bisa
menerimanya.
Tetapi aku pernah berpikir, kehadiran Adit merupakan penghapus airmataku dari kesedihan atas putusnya aku dan Dika. Apa Adit ini adalah tisu yang akan menghapus semua air mataku? Apa Adit adalah obat yang akan mengobati luka perasaanku ini?
Kami pun berjalan-jalan menuju toko souvenir. Rasanya Adit
belum juga menyerah untuk mendapat jawaban dariku.
Di tempat umum seperti ini saja, Adit malah merangkul
aku. Jujur saja, aku tidak suka dan merasa risih. Aku pun melepaskan tangannya
dariku. Aku pernah baca, justru jika seorang pria merangkul pasangannya di
depan umum, artinya ia menunjukkan kasih sayangnya. Tetapi aku tidak suka.
“Jadi gimana, Syif? Terima atau nggak?” tanyanya kembali.
“Maaf ya, Ka. Gue nggak bisa. Maaf banget.” Kataku mencoba
menolak secara halus.
“Oh, baiklah. Tidak apa-apa.” Katanya tertunduk.
Semenjak penolakan itu, Adit tidak pernah lagi mengajakku
berbicara. Bahkan jika kami saling bertemu, ia malah menghindar.
***
Matahari kini mulai tenggelam. Suara kicauan burung yang
indah, kini berganti menjadi sunyi senyap. Kami mengadakan camping di luar
kamar villa.
“Kita lihat bintang yuk!” kataku mengajak Adit.
“Aku capek. Aku di kamar saja ya!” jawabnya pergi.
Aku jadi merasa bersalah dengan Adit. Tetapi apa boleh
buat, cinta tidak dapat dipaksa. Karena cinta adalah tentang keikhlasan sebuah hati
untuk menerima pasangan dengan penuh rasa kasih sayang.
“Yaudah, ayok gue temenin lihat bintang yang cantik itu.”
sahut Ricky.
“Ayok! Bintangnya indah banget ya. Itu tuh paling
bersinar!” tunjukku pada salah satu bintang yang bersinar terang.
“Tapi menurut gue ada loh yang lebih indah dari bintang
itu. Yaitu lo, Syif. Lo telah bersinar menerangi hati gue.” Gombal Ricky.
“Ih apaansih hahaha.” Kataku memukul pelan Ricky.
“Kita tarik yuk bintang yang paling bersinar itu. kita
tarik ke dekat hati kita, terus kita make a wish deh!” kata Ricky.
“Ayok kita coba.” Jawabku penasaran.
Kita pun seolah menarik bintang terindah di langit menuju
hati kita. Membuat sebuah harapan yang berharap akan terkabul.
“Dari dulu gue sering ngelakuin hal ini. Menarik bintang,
membuat harapan, berharap dia jadi milik gue. Semoga dia tahu isi hati gue ini.
Udah lama gue memendam rasa ini. Gue berharap akan berakhir dengan bahagia.” Cerita
Ricky.
“Semua akan indah pada waktunya kok.” Sahutku
“Gue suka sama lo, Syif. Tapi gue gak maksa kok lo jadi
pacar gue. Setidaknya gue udah lega karena udah nyatain perasaan gue selama
ini.” Kata Ricky.
“Tapi maaf ya, Ky, gue gak bisa. Gue lebih menikmati
status gue sekarang yaitu single. Gue percaya kok, lo pasti dapat yang lebih
baik.” Kataku menolak halus kembali.
***
Mega dan Fuji sudah tidur. Aku sendiri masih terbangun. Entahlah
aku masih memikirkan kesalahanku kepada Adit. Tetapi aku bingung, Adit dan
Ricky merupakan sahabat sejati sejak mereka kelas 1 SMA. Tetapi, mereka menyukai
perempuan yang sama. Walau begitu aku salut, karena mereka bersaing sehat dan
tidak saling menjatuhkan. Tak satupun dari mereka yang berhasil.
***
1 bulan berlalu. Pergantian semester dimulai.
Adit sudah tiada. Ia pindah ke sekolah lain. Terkadang,
aku memang kangen kepadanya. Apalagi, aku pernah melewati masa-masa indah
bersamanya. Kalau melihat video yang diunggah Adit, ketika ia menyanyikan forevermore, ia mengatakan "ini untuk cewek yang gue suka." jadi ternyata, cewek itu adalah aku. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya.
Ya, aku rasa aku bukan sekedar kangen dengan Adit. Apa mungkin
aku suka kepadanya? Entahlah.
Tetapi semua terlambat. Toh kita sudah pisah sekolah. Mungkin
ada rasa menyesal menolak Adit. Aku memang sulit sekali untuk peka. Giliran seseorang
mendekatiku, aku malah cuek dan bersikap tidak peduli. Akan tetapi, giliran dia
menjauh dan pergi, aku malah mulai menyukainya. Telat!
Terkadang, sesuatu itu akan lebih berharga ketika dia
telah pergi. Karena kita baru menyadari pentingnya dia di hidup kita, ketika
dia sudah tidak lagi di samping kita. Tawa bahagia berubah menjadi tangis
kesedihan.
Pelajaran dari sini, jangan pernah menggantungkan
perasaan seseorang. Menunggu itu salah satu hal yang membosankan. Apalagi jika
kita menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Oleh karena itu, bersyukurlah dengan apa yang kita miliki
sekarang. Sayangilah dengan tulus. Cintailah apa adanya, bukan ada apanya. Jangan
sampai kita baru menyadari betapa pentingnya seseorang, justru ketika dia
pergi.
Karena dia tidak akan selamanya bersamamu.
Karena disetiap "hello" akan ada kata "goodbye"
Ada pertemuan, pasti ada perpisahan.
Ada pertemuan, pasti ada perpisahan.
Terkadang bahkan kita bertanya "Mengapa harus ada pertemuan, jika akhirnya dipisahkan?"
Ada juga pertanyaan "Mengapa harus ada pertemuan bahagia, jika ujungnya tidak bersatu?"
Kita harus menerima kenyataan.
Jangan menyalahkan keadaan.
Intinya, percayalah, semua akan indah pada waktunya. Bersabarlah.
THE END
Komentar
Posting Komentar